SAYA membaca beberapa bukunya Fahd Pahdepie, beberapa buku ditulis waktu dia masih menggunakan nama pena Fahd Djibran. Awal membaca buku Jodoh, mengingatkan saya pada buku Rumah Tangga karya penulis yang sama, atau buku Perjalanan Rasa karya penulis yang sama juga. Rasanya sama, karena cara bercerita dan ide-ide cerita yang hampir mirip. Selain membaca bukunya, saya juga sempat aktif membaca blognya.
Awal mula mengenal tulisan Fahd lewat buku Hidup Berawal dari Mimpi dan Yang Galau Yang Meracau (Curhat Tuan Setan). Bisa dikatakan gaya bercerita Fahd selalu begitu (secara kasar boleh saya bilang begitu-begitu saja). Untungnya cerita yang dihadirkan Fahd menarik. Oleh karena itu membaca buku Jodoh ini, saya kembali merasakan hawa dan pengalaman yang sama, meski rasanya tak sekuat Perjalanan Rasa.
Novel Jodoh menceritakan tentang Sena, yang jatuh cinta kepada Keara dari kelas 1 SD. Cinta yang terlalu sederhana, bahkan sangkin sederhananya Sena tidak tahu bagaimana menjelaskan definisi “cinta”itu. Cinta yang sederhana itu menjadi berbentuk saat mereka berdua sekolah di pesantren yang sama di Garut, di Daarul Arqam. Ketatnya peraturan pesantren tentang hubungan santriwan dan santriwati menjadi pengalaman jatuh cinta tersendiri bagi Sena dan Keara, namun mereka berdua sepenuhnya sadar dan mengetahui bahwa mereka saling menyayangi satu sama lain.
Masalah muncul saat Keara divonis mengidap penyakit Spinal Muscular Atrophy yang menyebabkan Keara bisa lumpuh kapan saja. Dan di sinilah kekuatan novel ini berasal. Fahd dengan lihai menceritakan bagaimana Sena teguh pada pendirian untuk menikahi Keara, meski dokter mengatakan bahwa usia Keara tidak akan lebih dari 23 tahun. Fahd beberapa kali mengutip puisi Sapardi Djoko Damono dalam buku Hujan Bulan Juni–saya jadi ingat bahwa saya belum selesai membaca novel Hujan Bulan Juni yang saya beli beberapa bulan yang lalu.
Saya kira novel ini kisah nyata Fahd dan istrinya, seperti buku Rumah Tangga. Namun, saya salah. Masih seperti tulisan-tulisannya yang lain, Fahd yang memang agak melow romantis membawa pembaca pada situasi yang dilematis: setia pada Keara yang penyakitan dan usianya tidak lama lagi, atau pergi mencari jodoh yang lain? Beberapa kali saya harus menahan nafas, atau bahkan berkaca-kaca ketika membaca bagian-bagian akhir novel ini. Satu pertanyaan besar yang dicari Sena dalam novel ini ada pada judul novelnya: apa itu jodoh? apakah benar kamu jodohku?
Novel yang menarik, layak dibaca oleh teman-teman, baik yang sudah menemukan jodohnya maupun belum, hehe. Saya semakin tersadarkan bahwa cinta sejati kadang tidak membutuhkan alasan.
Akhirnya, meski gaya bercerita Fahd begitu-begitu saja, harus saya akui bahwa novel ini mampu membawa saya terlempar pada perjalanan cinta saya sendiri: dan harus saya akui bahwa novel ini bagus dan layak untuk dibaca. Meski kisah cinta saya tidak mirip dengan kisah cinta Sena, tapi setiap cinta memang butuh perjuangan, jika memang layak diperjuangkan.
Apa Sena berhasil menikahi Keara? Silakan temukan sendiri jawabannya.
Artikel ini dikutip dari https://nasikhudinisme.com/2016/02/14/resensi-jodoh-fahd-pahdepie/
No comments:
Post a Comment